Sabtu, 28 Februari 2009

Mentafakuri Diri

Sofyan Ats Tsauri, salah satu ulama generasi Tabi’in pernah berkisah pada dirinya sendiri dan mengatakan, “suatu hari aku duduk menghitung dosa-dosaku. Ternyata jumlah 21 ribu dosa. Lalu, aku katakana kepada diriku, “Wahai diriku, apakah engkau akan bertemu Allah SWT dengan 21 ribu dosa?. Apakah engkau akan berdiri dihadapan Allah SWT dengan 21 ribu dosa?. Apa yang akan engkau katakan? Demi Allah, kulit wajahmu akan terkelupas seluruhnya ketika engkau menyampaikan dosa-dosamu dihadapan Allah. Wahai diriku, itu dosa yang aku ingat. Bagaimana dengan dosa yang telah dihitung Allah, tapi engkau lupa terhadap dosa itu?.

Sahabatku…hidup yang kita jalani tidak lepas dari yang namanya aktivitas. Baik aktivitas berbicara maupun bertindak. Aktivitas kebaikan atau aktivitas keburukan. Semuanya bebas kita lakukan selama kita masih menikmati segala yang diberikan-Nya. .

Namun, disadari atau tidak terkadang atau pun sering, aktivitas yang kita lakukan bersinggungan dengan kemaksiatan atau dosa. Banyak diantara kita yang matanya tertutup dari kemaksiatan yang dilakukan. Dan ketika bangun di keesokan hari sudah melupakannya. Tapi sahabatku, Allah tentu tidak akan melupakannya. Itulah sebabnya, Sofyan Ats Tsauri juga pernah mengatakan, “Demi Allah, aku akan melakukan istighfar untuk satu per satu dosa yang pernah aku perbuat.”

Lalu, bagaimana dengan kita yang masih berlumur kemaksiatan. Bergumul dengan dosa-dosa. Bercengkrama dengan kezaliman. Sudah tertutupkah pintu istighfar?. Insya Allah belum sahabat. Sepanjang kita masih menginginkan diri ini untuk berubah, kita pasti akan mendapatkan cahaya-Nya. Semua tergantung dari niat dan kesungguhan.

Sahabatku…kita tentu masih ingat kiat sederhana dari Aa Gym tentang 3M. Mulai dari hal yang kecil..mulai dari sekarang..dan mulai dari diri sendiri. Sederhana memang, tapi kembali lagi, kalau tidak diniatkan dan istiqomah, sepertinya sangat sulit mendambakan ketenangan hidup yang hanya bergantung kepada-Nya.

Mari kita bertafakkur, merenungi segala karya-Nya. Melihat dari sudut hati yang dalam. Apakah selama ini kita senantiasa bersyukur atas semua yang telah diberikan-Nya. Apakah kita selalu bersabar tiap cobaan yang hinggap dalam hidup. Insya Allah jika kita mampu menempatkan semua itu pada tempatnya, kita akan terjaga dari lintasan-lintasan yang akan menjerumuskan kita pada kemaksiatan dan dosa.

Kita perlu duduk dengan diri sendiri untuk mengingat-ingat dosa yang dilakukan dan memohonkan ampun atas dosa itu. Dan dosa tidak dapat dihapus kecuali dengan taubat. Dengan kata lain, kita harus Muhasabah. Evaluasi yang tidak lain tidak bukan hanya dapat dilakukan melalui dialog jiwa dan diri sendiri.

Dialog dengan diri juga menjadikan hati selalu peka akan setiap keinginan dan lintasan-lintasan hati yang tidak baik. Muhasabah juga bisa mendorong diri untuk selalu menambah amal ibadah kepada Allah.

Sahabatku..aku ingin menyampaikan beberapa kiat untuk kita “bercermin” kepada diri sendiri yang aku ambil dari sebuah majalah kecil. Pertama, pahami keuntungan yang didapat dari dialog dengan jiwa. Rasulullah mengatakan bahwa seorang mukmin memandang dosanya seperti gunung yang akan jatuh mneimpa dirinya. Sedangkan, orang kafir memandang dosanya seperti mengibaskan seekor lalat yang hinggap di hidungnya hingga pergi.

Kedua, pilih waktu yang cocok untuk berdialog dengan diri. Tidak ada waktu yang dibatasi untuk melakukan dialog dengan diri sendiri (muhasabah). Agar efektif, hadirkan suasana tenang, seperti saat melakukan tahajud atau sesaat sebelum tidur. Atau juga diantara suasana alam yang bisa mengajak pikiran untuk tenang dan konsentrasi. Setiap orang harusnya mempunyai kesempatan dimana ia menyendiri dan mengingat dosanya lalu memohon ampun kepada Allah.

Ketiga, memahami hidup mempunyai tujuan dan ada batasnya. Hidup tentu punya tujuan dan ada batasnya. Jadi, semua harus berjalan dengan penuh cermat, kehati-hatian, mengambil pelajaran dari kesalahan. Sebab, orang yang tidak mempunyai orientasi dalam hidup dan tidak peduli dengan batas waktu hidupnya didunia, tentu sulit mau berdialog dengan jiwanya. Ia tidak merasa perlu mengevaluasi perjalanan hidupnya. Bahkan, tidak merasa berkepentingan memikirkan kemana hidupnya berakhir.

Keempat, hindari terlalu focus pada peristiwa, tapi fokus pada hikmahnya. Kita pasti banyak mengalami peristiwa, tapi sebenarnya sedikit diantara kita yang mampu bisa melihat hikmah didalamnya. Tidak banyak orang yang mau mengevaluasi kesalahan yang mungkin datang dari dirinya.

Kelima, hikmah bisa diambil dari peristiwa yang dialami orang lain. Pengalaman adalah guru yang terbaik. Sebuah kejadian yang sama boleh jadi mempunyai instuisi hikmah yang berbeda-beda dari setiap orang.

Mudah-mudahan bermanfaat dan dapat kita renungkan. Semoga Allah memberi kita kekuatan dan ketenangan dalam menjalani hidup. Selamat berjuang sahabat. Amin.